Kegembiraan peserta didik yang melonjak tajam begitu bel berbunyi bukan sekadar perkara jam kosong. Itu semacam perayaan kecil, festival kebabasan, dan pengakuan jujur yang tak pernah diminta, tapi terucap dengan tubuh: bahwa kelas sering kali terasa seperti ruang tunggu yang membuat jenuh, bukan ruang hidup. Murid hadir secara fisik, tetapi jiwanya izin keluar lebih dulu. Ini bukan pembangkangan, ini sinyal dan alarm yang terus berbunyi keras di ruang sunyi peserta didik. Sayangnya, alarm semacam ini kerap dianggap gangguan, bukan peringatan.
Kita lalu sibuk menunjuk jari: metode yang ketinggalan zaman, sarana yang seadanya, guru yang kurang inovatif, murid yang malas, orang tua yang abai. Semua benar, sekaligus belum tentu menyentuh akar. Sebab bisa jadi masalahnya bukan pada siapa, melainkan pada cara kita memandang pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan kita dirancang untuk menumbuhkan manusia, atau sekadar meluluskan administrasi bernama ijazah?
Dalam sistem kita, kebahagiaan sering dicurigai. Ia dianggap terlalu lunak, terlalu subjektif, terlalu sulit diukur. Pendidikan maunya yang pasti-pasti saja: nilai, peringkat, grafik angka naik-turun saat rapotan. Padahal manusia bukan grafik angka. Manusia punya rasa, punya takut, punya harap, punya tawa yang tak bisa diringkas dalam rapor. Ketika kebahagiaan dianggap tidak penting dan tidak hadir di ruang-ruang pendidikan. kelas berubah menjadi ruang kewajiban yang kaku, bukan ruang perjumpaan menyenangkan yang di tungu-tunggu.
Anggapan saya mungkin “Sekolah kita berlomba-lomba rajin mencetak juara, tapi sering lupa memastikan apakah peserta didik sudah cukup gembira ketika belajar.” Kita bangga pada prestasi, tetapi kikuk ketika ditanya: apakah anak-anak kita mencintai proses belajarnya? Jangan-jangan kita sedang mencetak generasi yang pandai angka saja dan yang penting lulus administrasinya.
Pendidikan itu bukan sekadar memindahkan ilmu, melainkan menjaga agar kemanusiaan tidak bocor di tengah jalan. Anak-anak bukan wadah kosong yang harus diisi, melainkan kadang kala perlu diposisikan sebagai manusia yang perlu ditemani tumbuh. Jika belajar terasa menyiksa, mungkin bukan anaknya yang salah, melainkan ekosistemnya pendidikan yang kehilangan cinta.
Lalu orang menunjuk Finlandia, seolah itu negeri dongeng pendidikan. Di sana, sekolah tidak berlomba-lomba menjejalkan beban. Jam belajar lebih singkat, pekerjaan rumah tidak berlebihan, guru dipercaya sebagai manusia merdeka berpikir, bukan operator silabus. Yang paling penting: murid diperlakukan sebagai subjek, bukan objek. Kebahagiaan tidak diajarkan sebagai mata pelajaran, tetapi dihadirkan sebagai suasana. Sekolah tidak sibuk bertanya “berapa nilaimu?”, melainkan “apa yang kamu rasakan dan butuhkan untuk belajar?”
Finlandia tidak sempurna. Tetapi mereka paham satu hal yang sering kita lupakan: anak yang bahagia lebih mudah belajar daripada anak yang tertekan. Guru yang dihargai lebih ikhlas mendidik daripada guru yang terus dicurigai. Pendidikan di sana tidak alergi pada kegembiraan, karena mereka sadar bahwa kegembiraan bukan musuh keseriusan, melainkan pintu masuknya, bahkan alat pendidikan yang lebih penting daripada pena.
Pertanyaannya kemudian bukan: apakah kita bisa meniru Finlandia? Tetapi: beranikah kita jujur pada diri sendiri bahwa pendidikan kita terlalu lama sibuk mengejar hasil, sampai lupa merawat proses? Beranikah kita mengakui bahwa kelas yang membosankan bukan takdir, melainkan desain yang bisa diubah?
Kebahagiaan dalam pendidikan memang abstrak. Tetapi ketidakhadirannya sangat nyata: murid yang enggan masuk kelas, guru yang mengajar sekadar menggugurkan jam, sekolah yang hidup hanya saat upacara dan lomba. Jika ini terus dibiarkan, pendidikan akan tetap berjalan, tetapi kehilangan ruhnya.
Dan mungkin, di titik ini, kita perlu berhenti sejenak. Mendengarkan tawa murid di luar kelas, bukan untuk dimarahi, tetapi untuk dipahami. Sebab bisa jadi, di sanalah suara paling jujur tentang keadaan pendidikan kita sedang berbicara.
Penulis : Zuhdi yazid

Posting Komentar